Katib

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
katib dibesarkan oleh seorang ayah bernama Marzuki Al qomry dan ibu Nurma, di Muara Bungo tepatnya diprov. Jambi. namun tidak dapat dipungkiri bahwa katib berasal dari bedaro, sebuah desa yang jauh dari keramaian kota muara bungo. pada saat ini penulis disibukkan dengan aktivitas adventure mencari dan mengumpulkan ilmu. Dalam proses adventure ini, penulis meminta do'a para sahabat Sah_Qyla, Agar penulis Selalu lurus dalam niat dan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan baik. Amiiin

Minggu, 11 Desember 2011

ANALISIS TINDAK TUTUR DIREKTIF

ANALISIS TINDAK TUTUR DIREKTIF
Ustad Samsul Arifin Nababan, Lc
dan Pendeta Yoshua Winadi, S.Kp, S.Th
(Studi kasus dakwah interaktif dalam video Dialog Lintas Agama)
 oleh : Mabruri El Faiz

BAB I
TEORY TINDAK TUTUR

A.    Pengertian Tindak Tutur dan Jenis Tindak Tutur
            Menurut Rohmadi[1], teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu­tur (fire performance of speech acts).
            Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech[2] menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
            Berkenaan dengan tuturan, Austin[3] membedakan tiga jenis tindakan:
a.       tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.
b.      tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb.
c.       tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
             Berikut ini adalah penjelasan lebih lengkap mengenai tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi.
1.      Tindak lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:
a.       Andi Belajar Membaca
b.      Ali bermain piano.
            Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.
2.      Tindak Ilokusi
            Tindak ilakusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
a.          Yuli sudah seminar proposal skripsi kemarin.
b.         Santoso sedang sakit.
      Kalimat (a) jika diucapkan kepada seorang mahasiswa semester XII, bukan hanya Sekadar memberikan informasi saja akan tetapi juga melakukan sesuatu, yaitu memberikan dorongan agar mahasis­wa tadi segera mengerjakan skripsinya. Sedangkan kalimat (b) jika diucapkan kepada temannya yang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti bukan saja sebagai informasi te­api juga untuk menyuruh agar mengecilkan volume atau mematikan radionya. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi ka­rena terlebih daihuhi harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.
3. Tindak Perlokusi
            Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraan­nya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tin­dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang men­dengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak se­ngaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:
a.       Kemarin ayahku sakit.
b.      Samin bebas SPP.
Kalimat (a) jika diucapkan oleh sese­orang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinva adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum. Se­dangkan kalimat (b) jika diucapkan seorang guru kepada mu­rid-muridnya, maka ilokusinya adalah meminta agar teman-temannya tidak iri, dan perlokusinya adalah agar teman-teman­nya memaklumi keadaan ekonomi orang tua Samin.
Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus me­libatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus.
Teori Austin kemudian mendapat kritik dari muridnya sendiri yaitu Searle (1969). Menurut Searle teori yang diajukan Austin terdapat hal yang membingungkan antara verba dan tindakan, terlalu banyak tumpang tindih dalam teori, terlalu banyak heterogenitas dalam kategori dan yang paling penting adalah tidak adanya prinsif klasifikasi yang konsisten. Selanjutnya Searle mengklasifikasi tindak tutur menjadi lima kelompok, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi[4] (Rustono:39-43).
1.      Representatif
            Representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang memberikan pernyataan atau menyatakan termasuk tuturan representatif. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur representatif adalah tuturantuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Dalam tuturan itu, penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi tuturannya. Contoh dari tindak tutur representatif adalah sebagai berikut. ”Penduduk desa ini 1350 jiwa.” Informasi indeksal:
            Diucapkan oleh seorang kepala desa kepada seorang petugas sensus penduduk. Tuturan termasuk dalam tindak tutur representatif karena tuturan mengikat penutur akan kebenaran tuturannya. Penutur bertanggung jawab memang benar bahwa jumlah penduduk yang ada di desa yang ia pimpin berjumlah 1350 jiwa. Kebenaran tuturan itu diperoleh dati fakta yang ada di lapangan.
2.      Direktif
            Direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan-tuturan memaksa, memohon, menyarankan, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, menyarankan, memerintah, memberi aba-aba dan menantang termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif ini. Jenis tindak tutur ini disebut juga tindak tutur impositif. Contoh tindak tutur direktif adalah sebagai berikut.  “Tolong belikan ia garam di warung Pak Amin!” Informasi indeksal:             Dituturkan oleh seorang ibu yang sedang memasak kepada anaknya. Tuturan termasuk dalam jenis tindak tutur direktif karena penutur menginginkan mitra tutur untuk melalukan sesuatu seperti yang terdapat dalam tuturannya. Yang menjadi indikator dalam tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang harus dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar sebuah tuturan.
3.      Ekspresif
            Ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ekspresif ini disebut juga sebagai tindak tutur evaluatif. Tuturantuturan memuji, mengucapkan terima kasih, menkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung termasuk dalam tindak tutur ekspresif. Contoh tindak tutur ekspresif adalah sebagai berikut “Sudah berhemat setengah mati tapi kita tidak kaya juga.” Informasi indeksal:
            Dituturkan oleh seorang istri kepada suaminya. Tuturan di atas termasuk tindak tutur ekspresif karena tuturan itu dapat diartikan sebagai bentuk evaluasi terhadap hal yang telah mereka lakukan yaitu berhemat tapi hasil yang mereka harapkan untuk dapat kaya tidak terwujud juga. Isi dari tuturan  berupa keluhan karenanya tuturan itu termasuk dalam tindak ekspresif mengeluh.
4.      Komisif
            Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan merupakan tuturan yang termasuk dalam jenis tindak komisif. Contoh tindak tutur komisif adalah sebagai berikut.  “Saya akan rajin belajar.” Informasi indeksal: 
            Tuturan seorang anak kepada ibunya setelah ia mendapatkan nilai rendah pada saat ulangan harian. Tuturan  termasuk tindak tutur komisif karena tuturan itu mengikat penuturnya untuk rajin belajar. Ikatan untuk rajin belajar dinyatakan penuturnya yang membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhinya. Karena tuturan itu berisi janji yang secara eksplisit dinyatakan, tindak tutur itu termasuk tindak tutur komisif bejanji.
5.      Deklarasi
            Deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Fraser (1978) menyebut tindak tutur ini dengan istilah establishive atau isbati. Tuturan-tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menolong, mengampuni, memaafkan termasuk dalam tindak tutur deklaratif. Contoh tindak tutur deklaratif adalah sebagai berikut.“Jangan main di dekat sumur!” Informasi indeksal:
            Dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang sedang bermain di belakang rumah. Tuturan termasuk jenis tindak tutur deklarasi karena dengan tuturan ini penutur menciptakan suatu keadaan yang baru yaitu berupa larangan bagi anaknya untuk bermain di dekat sumur. Sementara sebelum tuturan ini dituturkan oleh ibu, si anak boleh bermain di mana saja yang ia inginkan. Adanya perubahan status atau keadaan merupakan ciri dari tindak tutur isbati atau deklarasi ini. Karena tuturan ini berisi larangan maka tuturan ini termasuk tindak tutur deklarasi melarang.
            Wijana[5] menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak literal.
1. Tindak tutur langsung dan tak langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat perintah (imperative). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.
2. Tindak tutur literal dan tindak tutur tak literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.
a.       Penyanyi itu suaranya bagus.
b.      Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)
Kalimat (a) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (b) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (b) merupakan tindak tutur tak literal.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
1.      Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?
2.      Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

3.      Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
4.      Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.



BAB II
TINDAK TUTUR DIREKTIF

            Tindak tutur direktif (TTD) adalah salah satu jenis tindak tutur menurut klasifikasi Searle (1969). Fungsinya adalah mempengaruhi petutur atau mitra tutur agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur. Fungsi umum atau makrofungsi direktif mencakup: menyuruh, memerintah, memohon, mengimbau, menyarankan dan tindakan-tindakan lain yang diungkapkan oleh kalimat bermodus imperatif menurut aliran formalisme.
            Lebih lanjut Searle mengungkapkan bahwa direktif itu dapat langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif) dan dapat pula tidak langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus bukan imperatif). Menurut Searle pula, realisasi direktif tidak langsung itu ada enam kategori seperti: Can you pass the salt? Are you going to pass the salt? I would like you to pass the salt dan sebagainya. (contoh tuturan terdapat dalam Gunarwan, 2007). Sedangkan Leech[6]  menyatakan bahwa fungsi tindak tutur direktif dapat ditunjukkan dengan verba yang melekat dan biasanya berkonstruksi: Subject – Verb (O) ---- that X or S Verb O to Y. Dengan S sebagai subyek dan O sebagai obyek dan ’that X’ merupakan klausa yang nonindikatif, dan ’to Y’ adalah klausa infinitif: misalnya ask (meminta), beg (memohon), bid (memohon dengan sangat), command (memerintah), demand (menuntut), forbid (melarang) recommend (menganjurkan), request (memohon).
            Sementara itu Vandervaken[7] (1990) mendata direktif dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:
Direct, request, ask, question, inquire, interrogate, urge,encourage, discourage, solicit, appeal, petition, invite, convene,convoke, beg, supplicate, beseech, implore, entreat, conjure, pray, insist, tell, instruct, demand, require, claim, order, command, dictate, prescribe, enjoin, adjure, exorcise, forbid, prohibit, interdict, proscribe, commission, charge, suggest, propose, warn, advise, caution, alert, alarm, recommend, permit, allow, authorize, consent, invoke, imprecate, and intercede.
            Bach dan Harnish (1979) dalam Ibrahim[8] menyatakan bahwa direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur sehingga tindakan ini dapat berbentuk konstatif, namun direktif juga bisa mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran aatau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitra tutur. Selanjutnya Bach dan Harnish dalam Ibrahim[9] mengkategorikan direktif ke dalam enam kategori utama yaitu: 1) Requestives (meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, mendorong), 2) Questions (bertanya, menyelidik, menginterogasi), 3) Requirements (memerintah, menghendaki, mengkomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstrusikan, mengatur, mensyaratkan), 4) Prohibitives (melarang, membatasi), 5) Permissives (menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengijinkan, melepaskan, memaafkan, memperkenankan), dan 6) Advisories (menasehatkan, memperingatkan, mengkonseling,
mengusulkan, menyarankan, mendorong). Rahardi dan Lapoliwa dalam Nadar[10] menuliskan kontruksi ujaran direktif baik langsung maupun
tidak langsung sebagai berikut:
a.       Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif perintah.
Misalnya:”Ringkas karangan ini!”
b.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif suruhan.
Misalnya:”Coba ringkas karangan ini.”
c.       Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan.
Misalnya: ”Tolong ringkas karangan ini.”
d.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permohonan.
Misalnya: ”Aku mohon kamu bersedia meringkas karangan ini.”
e.       Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif desakan.
Misalnya; ”Ayo, ringkas karangan ini sekarang juga!”
f.       Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif bujukan.
Misalnya: ”Malam ini kamu meringkas karangan ini ya?”
g.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif himbauan.
Misalnya: ”Ringkaslah karangan ini dengan baik.”
h.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif persilaan.
Misalnya: ”Silakan karangannya diringkas.”
i.        Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ajakan.
Misalnya:”Mari kita ringkas karangan ini bersama-sama.”
j.        Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan ijin.
Misalnya ”Bolehkah saya meringkas karangan ini.”
k.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif mengijinkan.
Misalnya ”Karangannnya boleh diringkas sekarang.”
l.        Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif larangan.
 Misalnya ”Jangan meringkas karangan itu.”
m.    Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif harapan.
Misalnya ”Saya mengharapkan ringkasan karangan ini cepat selesai.”
n.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif umpatan.
Misalnya”Kena, kau!”
o.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif selamat.
Misalnya”Selamat ya atas prestasimu.”
p.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif anjuran.
Misalnya”Sebaiknya ringkasannya dikerjakan sekarang saja akan lebih baik.”
q.      Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ”ngelulu”.
Misalnya: ” Tidak usah belajar, nonton TV saja terus sampai pagi.”
Selanjutnya, seorang mitra tutur memiliki beberapa cara untuk merespon sebuah TTD. Bisa saja mitra tutur tersebut mengiyakan TTD tersebut tanpa membantah, mengiyakan dengan memunculkan ujaran tertentu atau bahkan mitra tutur melakukan penolakan terhadap TTD yang diungkapkan oleh penutur. Rubin  dalam Nadar[11]  menyatakan bahwa paling sedikit ada delapan cara penolakan antara lain:
a.       Berdiam diri, tidak memberikan tanggapan.
b.      Menawarkan suatu alternatif: Susi lebih bagus dari pada saya..
c.       Penundaan: Bagaimana kalau lain kali saja.
d.      Menyalahkan orang lain: Suami saya tidak mengijinkan.
e.       Menghindari penolakan langsung: Sebenarnya menarik, tapi...
f.       Memberi tanggapan yang tidak spesifik; Insya Allah.
g.      Mengungkapkan alasan: Saya ada ujian hari ini.
h.      Menyatakan bahwa suatu tawaran atau ajakan kurang baik: Rencana itu tidak terlalu bagus.
            Sedangkan Takahashi, Beebe and Uliss-Weltz  dalam Nadar[12] dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk menolak suatu ajakan atau perintah yaitu:
a.       Penolakan Langsung: yaitu penolakan langsung dengan menggunakan kata penolakan atau pernyataan yang menunjukan ketidakmauan atau ketidakmampuan.
1) Menggunakan kata penolakan seperti: tidak, jangan.
2) Menggunakan penyataan ketidakmauan atau ketidak mampuan seperti: tidak perlu,tidak ingin, lupakan , tidak dapat, tidak mau.
b.      Penolakan Tidak Langsung
1) Pernyataan penyesalan; saya menyesal, jadi malu.
2) Pernyataan maaf, alasan, keterangan: maaf masih ada yang harus saya kerjakan.
3) Pernyataan alternatif: Anda boleh datang besok saja.
4) Mengkondisikan penerimaan waktu sekarang atau waktu lampau. Kalau dia datang saya akan datang.
5) Memberikan janji untuk menerima lain waktu; mungkin lain kali saja
6) Pernyataan prinsip: Suami saya tidak mau menerima hadiah.
7) Pernyataan filosofis: Satu dibantu, semua dibantu.
8) Menerima pernyataan namun sebenarnya menolak: kami akan pertimbangkan lagi.
9) Berusaha mempengaruhi lawan bicara untuk tidak melakukan: Anda tahu konsekuensi dari perbuatan Anda.
10) Penghindaran :
a) Verbal
(1) Mengalihkan pembicaraan
(2) Mengajak bercanda
(3) Mengulang sebagian dari pertanyaan atau pernyataan; Pinjam uang ya?
(4) Penundaan: Kalau lain kali saja bagaimana?
(5) Pagar: Saya tidak yakin tentang masalah ini.
b) Non verbal
(1) Diam
(2) Ragu-ragu
(3) Gerakan fisik
c. Adjunct: ungkapan tambahan, namun tidak dapat berdiri sendiri sebagai penolakan.
1) Pernyataan pendapat yang positif/persetujuan: Idenya bagus, tapi...
2) Pernyataan empati atau pengertian: Saya tahu Anda berada dalam situasi sulit.
3) Berhenti sejenak: ehmm..
4) Apresiasi: Terima kasih.
5) Sapaan: Eh..Pak.
6) Pernyataan kesopanan: Anda baik sekali.



BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

            Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan pendapat-pendapat ahli sosiolinguistik dalam konsep tindak tutur. dan pada tulisan ini penulis mencoba menemukan temuan dan membahas tentang tindak tutur tersebut. namun pada tulisan ini penulis hanya fokus pada tindak tutur direktif. Yang mana sumber yang penulis temukan dan yang akan dibahas ialah tindak tutur direktif Ustad Syamsul Arifin Nababan, Lc dan Pendeta Yoshua Winadi, S.kp, S.Th dalam dialog Lintas Agama[13] :
a)      Tindak Tutur Direktif Ustad (Ust) Syamsul Arifin Nababan, Lc (Mu’allaf)
      Pada tindak tutur Ust. Syamsul Arifin Nababan, Lc Penulis menemukan da’wah dialogis beliau yang berbunyi :
Oleh karena itu kembalilah pak sapto, kalau bapak mau kembali bertaubat diterima Allah, tadikan pak sapto mengatakan, apakah mungkin tuhan masih mengampuni saya, insya allah. allah masih akan mengampuni dosa beliau, tapi jangan murtad lag[14]i.”
      Contoh diatas adalah, sebuah contoh tindak tutur direktif,  dimana menurut pengamatan penulis dari paragraph tersebut ditemukan 2 kalimat tindak tutur direktif  pada kalimat :
a)      Oleh karena itu kembalilah pak sapto
b)      tapi jangan murtad lagi
Dimana pada kalimat (a)  ust. Syamsul Arifin Nababan, Lc menyerukan kepada pak sapto (Pdt. Edi Sapto Wedha : Murtad) agar kembali kejalan Allah dan bertaubat, karena dari jawaban tersebut seakan akan ada keragu-raguan pak sapto bahwasanya islam tidak akan mengampuni pendosa besar, sehingga dia lebih memilih Kristen yang mengampuni setiap dosa umat kristeni, sebagaimana termaktub dalam ajaran Kristen semua dosa ditanggung oleh pengorbanan salib yesus dan diampuni oleh oleh tuhan bapa.
Dan pada kalimat (b) adalah sebuah kalimat direktif melarang untuk mengerjakan kembali hal-hal sebelumnya yang dianggap menimbulkan dosa. Yang mana Ust. Syamsul Arifin Nababan, Lc melarang pak sapto untuk tidak kembali menjadi murtad, karna murtad adalah merubah status muslim menjadi kafir.
b)      Tindak Tutur Direktif Pendeta (Pdt) Yoshua Winadi, S.kp, S.Th (Murtad)
      Pada tindak tutur Pdt. Yoshua Winadi, S.kp, S.Th Penulis menemukan da’wah dialogis beliau yang berbunyi :
 “saya menghimbau islam sendiri pecah menjadi 73 golongan, dan 1 golongan yang masuk surga. Dan kenapa islam jauh-jauh menjangkau orang Kristen? yang tujuh 72 itu tanggung jawab kita (orang islam), Kenapa tidak merangkul yang menuju 72 itu?Hendaknya kita intropeksi saya termasuk dari 72 atau 1[15].”
      Contoh diatas adalah, sebuah contoh tindak tutur direktif,  dimana menurut pengamatan penulis dari paragraph tersebut ditemukan 2 kalimat tindak tutur direktif  pada kalimat :
a)      saya menghimbau islam
b)      Hendaknya kita intropeksi saya termasuk dari 72 atau 1
Pada kalimat (a) Pdt. Yoshua Winadi, S.kp, S.Th membunyikan kalimat tindak tutur menghimbau agar masyarakat islam tidak menyalahi agama Kristen atau memvonis agama Kristen adalah agama sesat, sedangkan dikalangan islam sendiri terpecah menjadi 73 golongan dan hanya  1 golongan yang masuk surga. Maksud pendeta disini, ialah melarang umat islam tidak usah mengurus atau menyalahkan agama orang lain sedangkan agama islam sendiri  mempunyai aib.
Dan pada kalimat (b) Pdt. Yoshua Winadi, S.kp, S.Th menyuruh agar umat islam intropeksi, sebagaimana dijelaskan diatas umat islam terbagi menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga. Dan sini, pendeta bermaksud agar umat islam mencari dan bertanya kepada diri mereka, apakah mereka termasuk didalam golong 73 yang tidak diridhoi Allah atau 1 golongan yang diridhoi Allah.




BAB III
KESIMPULAN

            Dari penjelasan-penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, penulis bisa menyimpulkan dengan beberapa kesimpulan dibawah ini :
1.      Teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu­tur (fire performance of speech acts).
2.      Tindak tutur direktif (TTD) adalah salah satu jenis tindak tutur menurut klasifikasi Searle (1969). Fungsinya adalah mempengaruhi petutur atau mitra tutur agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur. Fungsi umum atau makrofungsi direktif mencakup: menyuruh, memerintah, memohon, mengimbau, menyarankan dan tindakan-tindakan lain yang diungkapkan oleh kalimat bermodus imperatif menurut aliran formalisme.



DAFTAR PUSTAKA


Arimatea. Dialog Lintas Agama ; Mu’allaf Vs Murtad. Asrama haji Pondok Gede Gedung Serba Guna 2 Jakarta. 11 September 2004. (Sumber : Video).
Austin,J.L.1962.how to do things with words. Cambridge-Mass. Harvard University Press.
brahim, Abdul Syukur. (1992). Kajian Tindak Tutur. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional.
Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Nadar, FX. (2009). Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta.Graha Ilmu.
Rohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Vanderveken, Daniel. (1990). Meaning and Speech Act. Berlin. Cambridge University Press.
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.





[1] Rohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media
[2] Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London: Longman, Hal. 5-6
[3] Austin,J.L.1962.how to do things with words. Cambridge-Mass. Harvard University Press.
[4] Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press. Hal, 39-43
[5] Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Hal,4

[6] Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Hal: 327 .
[7] Vanderveken, Daniel. (1990). Meaning and Speech Act. Berlin. Cambridge University Press.
[8] Ibrahim, Abdul Syukur. (1992). Kajian Tindak Tutur. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional. Hal :27
[9] Ibid, Hal : 28-33
[10] Nadar, FX. (2009). Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta.Graha Ilmu. Hal : 73-74
[11] Ibid, Hal : 12 – 13
[12] Ibid. Hal :
[13] Arimatea. Dialog Lintas Agama ; Mu’allaf Vs Murtad. Asrama haji Pondok Gede Gedung Serba Guna 2 Jakarta. 11 September 2004. (Sumber : Video).
[14]  Ibid, disc 3
[15]  Ibid, disc 2

Tidak ada komentar: